Jumat, 05 Agustus 2011

Kasih Sayang Seorang Ibu

Apa sumber motivasi terbesar dalam hidup? Mungkin jawaban yang tepat adalah CINTA!! Cinta di sini bukan hanya berarti hubungan sepasang insan berlainan jenis, namun lebih kepada cinta universal.  Cinta seorang ibu / ortu pada anaknya atau sebaliknya.. Inilah kekuatan terbesar yang dimiliki yang bisa menjadi sumber motivasi bagi semua orang.
Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan bahagian nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : “Makanlah nak, aku tidak lapar” ———-KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA
Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia dapat memberikan sedikit makanan bergizi untuk pertumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan suduku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE DUA 
Sekarang aku sudah masuk Sekolah Menengah, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak mancis untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kepentingan hidup. Di kala musim sejuk tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak mancis. Aku berkata : “Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, aku tidak penat” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE TIGA
Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi loceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata : “Minumlah nak, aku tidak haus!” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE EMPAT
Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai keperluan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang pakcik yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE LIMA
Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pencen. Tetapi ibu tidak mahu, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, tetapi ibu berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : “Saya ada duit” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE ENAM
Setelah lulus dari ijazah, aku pun melanjutkan pelajaran untuk buat master dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universiti ternama di Amerika berkat sebuah biasiswa di sebuah syarikat swasta. Akhirnya aku pun bekerja di syarikat itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mahu menyusahkan anaknya, ia berkata kepadaku : “Aku tak biasa tinggal negara orang” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE TUJUH
Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanser usus, harus dirawat di hospital, aku yang berada jauh di seberang samudera atlantik terus segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perit, sakit sekali melihat ibuku dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE DELAPAN.
Setelah mengucapkan kebohongannya yang kelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya. Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : “Terima kasih ibu..!” Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktiviti kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pasangan kita, kita pasti lebih peduli dengan pasangan kita. Buktinya, kita selalu risau akan kabar pasangan kita, risau apakah dia sudah makan atau belum, risau apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah merisaukan kabar dari orangtua kita? Risau apakah orangtua kita sudah makan atau belum? Risau apakah orangtua kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi… Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi orangtua kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.

Sebuah Cerita Tentang Kasih Sayang

Pada suatu ketika, ada sebuah pulau yang dihuni oleh semua sifat manusia. Ini berlangsung lama sebelum mereka menghuni tubuh manusia, dan lama sekali sebelum kita mengotak-ngotakkannya kedalam istilah baik atau buruk. Pokoknya mereka ada, dengan ciri-cirinya sendiri.
Bahkan sifat-sifat tersebut berdiri sendiri sebagaimana manusia. Mungkin itu sebabnya pada akhirnya mereka bersatu. Dipulau tersebut hiduplah Optimisme, Pesimisme, Pengetahuan, Kemakmuran, Kesombongan, dan Kasih Sayang.
Sudah barang tentu sifat-sifat yang lain hidup disana juga. Pada suatu hari dimaklumatkan bahwa pulau tersebut pelan-pelan tenggelam. Ketika sifat-sifat tersebut mendengar berita ini, mereka dilanda kepanikan. Mereka berlarian kesana kemari seperti semut yang rumahnya diinjak sampai hancur.
Setelah beberapa saat mereka mulai tenang dan merencanakan tindakan positif. Karena hidup di pulau, kebanyakan dari mereka punya perahu, jadi mereka semua memperbaiki perahu mereka dan mengatur pemberangkatan dari pulau.
Kasih Sayang belum siap. Dia tidak memiliki perahu sendiri. Mungkin dia telah meminjamkannya kepada seseorang bertahun-tahun yang lalu. Dia menunda keberangkatannya hingga saat-saat terakhir agar dia bisa membantu orang lain bersiap-siap. Pada akhirnya Kasih Sayang memutuskan bahwa dia harus meminta bantuan.
Kemakmuran baru saja berangkat dari dermaga didepan rumahnya yang besar. Perahunya besar sekali, lengkap dengan semua teknologi paling mutakhir dan perangkat navigasi. Jika bepergian dengannya sudah pasti perjalanan mereka akan menyenangkan. "Kemakmuran," panggil Kasih Sayang, "bolehlah aku ikut bersamamu?" "Tidak bisa," jawab Kemakmuran. "Perahuku sudah penuh. Berhari-hari kuhabiskan untuk memenuhinya dengan seluruh emas dan perak milikku. Bahkan hanya tersisa sedikit ruang untuk perabotan antik dan koleksi seni. Tidak ada ruang untukmu disini."
Kasih Sayang memutuskan untuk minta tolong kepada Kesombongan yang sedang lewat didepannya menaiki perahu yang unik dan indah.
"Kesombongan, sudikah engkau menolongku?" "Maaf, " kata kesombongan. "Aku tidak bisa menolongmu. Tidakkah kau lihat sendiri? Kamu basah kuyup dan kotor. Coba bayangkan, betapa kotornya dek perahuku yang mengilat ini nanti jika kamu naik."
Lalu Kasih Sayang melihat Pesimisme yang sedang berusaha sekuat tenaga mendorong perahunya ke air. Kasih Sayang meletakkan tangannya ke buritan kapal dan membantu Pesimisme mendorong perahunya.
Pesimisme mengeluh terus menerus. Perahunya terlalu berat, pasirnya terlalu lembut, dan airnya terlalu dingin. Sungguh hari yang tidak tepat untuk melaut.
Peringatan yang diberikan mendadak sekali, dan pulau ini tidak seharusnya tenggelam. Mengapa semua kesialan ini terjadi padanya? Mungkin dia bukan teman seperjalanan yang menyenangkan.
Situasi Kasih Sayang sudah sangat kepepet. "Pesimisme, bolehkah aku menumpang perahumu?" "Oh, Kasih Sayang, engkau terlalu baik untuk berlayar denganku. Sikapmu yang penuh perhatian bahkan menjadikanku merasa lebih bersalah dan tidak keruan.
Bayangkan, seandainya ada ombak besar yang menghantam perahu kita dan engkau tenggelam. Bagaimana menurutmu perasaanku jika itu terjadi? Tidak, aku tidak bisa mengajakmu."
Salah satu perahu yang dilihat terakhir kali meninggalkan pulau adalah Optimisme. Dia tidak percaya dengan segala omong kosong tentang bencana dan hal-hal buruk, yaitu bahwa pulau ini akan tenggelam. Seseorang akan mampu berbuat sesuatu dan sebelum pulau ini benar-benar tenggelam.
Kasih Sayang berteriak memanggilnya, tetapi Optimisme terlalu sibuk menatap kedepan dan memikirkan tujuan berikutnya sehingga dia tidak mendengar.
Kasih Sayang berteriak memanggilnya sekali lagi, tetapi bagi Optimisme tidak ada istilah menoleh kebelakang. Dia sudah meninggalkan masa lalu dibelakang, dan berlayar menuju masa depan.
Pada saat Kasih Sayang sudah nyaris putus asa, dia mendengar sebuah suara, "Ayo, naiklah keperahuku." Kasih Sayang merasa begitu lelah dan letih sehingga dia meringkuk diatas perahu dan langsung tertidur.
Dia tertidur sepanjang perjalanan sampai nakhkoda kapal mengumumkan bahwa mereka telah sampai ditanah kering dan dia bisa turun. Dia begitu berterimakasih dan gembira karena perjalanannya berjalan aman sehingga dia berterimakasih kepada sang nakhoda dengan hangat, kemudian meloncat kepantai.
Dia melambaikan tangannya ketika pelaut itu meneruskan perjalanannya. Baru pada saat itulah dia sadar kalau lupa menanyakan nama nakhoda itu. Ketika dipantai dia bertemu dengan Pengetahuan dan bertanya,"Siapa tadi yang menolongku?"
"Itu tadi Waktu", jawab Pengetahuan. "Waktu?" tanya Kasih Sayang, "Mengapa hanya Waktu yang mau menolongku ketika semua orang tidak mau mengulurkan tangan?"
Pengetahuan tersenyum dan menjawab, "Sebab hanya Waktu yang mampu mengerti betapa hebatnya Kasih Sayang".

WRITTEN BY HTTP://WWW.LAUTANINDONESIA.COM   

Selasa, 26 Juli 2011

Gifts From The Heart for Women by Karen Kingsbury

Kisah berikut ini sangat menyentuh perasaan, dikutip
dari buku "Gifts From The Heart for Women" karangan
Karen Kingsbury. Buku ini dapat Anda peroleh di toko
buku Gramedia, maupun toko buku lainnya. Kisahnya sbb:
Bahkan Seorang Anak Berusia 7 Tahun Melakukan Yang
Terbaik Untuk ......

Di sebuah kota di California, tinggal seorang anak
laki2 berusia tujuh tahun yang bernama Luke. Luke
gemar bermain bisbol. Ia bermain pada sebuah tim
bisbol di kotanya yang bernama Little League. Luke
bukanlah seorang pemain yang hebat. Pada setiap
pertandingan, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di
kursi pemain cadangan. Akan tetapi, ibunya selalu
hadir di setiap pertandingan untuk bersorak dan
memberikan semangat saat Luke dapat memukul bola
maupun tidak.
Kehidupan Sherri Collins, ibu Luke, sangat tidak
mudah. Ia menikah dengan kekasih hatinya saat masih
kuliah. 

Kehidupan mereka berdua setelah pernikahan berjalan
seperti cerita dalam buku-buku roman. Namun, keadaan
itu hanya berlangsung sampai pada musim dingin saat
Luke berusia tiga tahun. Pada musim dingin, di jalan
yang berlapis es, suami Sherri meninggal karena mobil
yang ditumpanginya bertabrakan dengan mobil yang
datang dari arah berlawanan. Saat itu, ia dalam
perjalanan pulang dari pekerjaan paruh waktu yang
biasa dilakukannya pada malam hari. 

"Aku tidak akan menikah lagi," kata Sherri kepada
ibunya. "Tidak ada yang dapat mencintaiku seperti
dia". "Kau tidak perlu menyakinkanku," sahut ibunya
sambil tersenyum. Ia adalah seorang janda dan selalu
memberikan nasihat yang dapat membuat Sherri merasa
nyaman. "Dalam hidup ini, ada seseorang yang hanya
memiliki satu orang saja yang sangat istimewa bagi
dirinya dan tidak ingin terpisahkan untuk
selama-lamanya. Namun jika salah satu dari mereka
pergi, akan lebih baik bagi yang ditinggalkan untuk
tetap sendiri daripada ia memaksakan mencari
penggantinya."

Sherri sangat bersyukur bahwa ia tidak sendirian.
Ibunya pindah untuk tinggal bersamanya. Bersama-sama,
mereka berdua merawat Luke. Apapun masalah yg dihadapi
anaknya, Sherri selalu memberikan dukungan sehingga
Luke akan selalu bersikap optimis. Setelah Luke
kehilangan seorang ayah, ibunya juga selalu berusaha
menjadi seorang ayah bagi Luke.

Pertandingan demi pertandingan, minggu demi minggu,
Sherri selalu datang dan bersorak-sorai untuk
memberikan dukungan kepada Luke, meskipun ia hanya
bermain beberapa menit saja. Suatu hari, Luke datang
ke pertandingan seorang diri. "Pelatih", panggilnya.
"Bisakah aku bermain dalam pertandingan ini sekarang?
Ini sangat penting bagiku. Aku mohon ?"

Pelatih mempertimbangkan keinginan Luke. Luke masih
kurang dapat bekerja sama antar pemain. Namun dalam
pertandingan sebelumnya, Luke berhasil memukul bola
dan mengayunkan tongkatnya searah dengan arah
datangnya bola. Pelatih kagum tentang kesabaran dan
sportivitas Luke, dan Luke tampak berlatih extra keras
dalam beberapa hari ini.

"Tentu," jawabnya sambil mengangkat bahu, kemudian
ditariknya topi merah Luke. "Kamu dapat bermain hari
ini. Sekarang, lakukan pemanasan dahulu." Hati Luke
bergetar saat ia diperbolehkan untuk bermain. Sore
itu, ia bermain dengan sepenuh hatinya. Ia berhasil
melakukan home run dan mencetak dua single. Ia pun
berhasil menangkap bola yang sedang melayang sehingga
membuat timnya berhasil memenangkan pertandingan.

Tentu saja pelatih sangat kagum melihatnya. Ia belum
pernah melihat Luke bermain sebaik itu. Setelah
pertandingan, pelatih menarik Luke ke pinggir
lapangan. "Pertandingan yang sangat mengagumkan,"
katanya kepada Luke. "Aku tidak pernah melihatmu
bermain sebaik sekarang ini sebelumnya. Apa yang
membuatmu jadi begini?"

Luke tersenyum dan pelatih melihat kedua mata anak itu
mulai penuh oleh air mata kebahagiaan. Luke menangis
tersedu-sedu. Sambil sesunggukan, ia berkata "Pelatih,
ayahku sudah lama sekali meninggal dalam sebuah
kecelakaan mobil. Ibuku sangat sedih. Ia buta dan
tidak dapat berjalan dengan baik, akibat kecelakaan
itu. Minggu lalu,......Ibuku meninggal." Luke kembali
menangis.

Kemudian Luke menghapus air matanya, dan melanjutkan
ceritanya dengan terbata-bata "Hari ini,.......hari ini
adalah pertama kalinya kedua orangtuaku dari surga
datang pada pertandingan ini untuk bersama-sama
melihatku bermain. Dan aku tentu saja tidak akan
mengecewakan mereka.......". Luke kembali menangis
terisak-isak.

Sang pelatih sadar bahwa ia telah membuat keputusan
yang tepat, dengan mengizinkan Luke bermain sebagai
pemain utama hari ini. Sang pelatih yang
berkepribadian sekuat baja, tertegun beberapa saat. Ia
tidak mampu mengucapkan sepatah katapun untuk
menenangkan Luke yang masih menangis. Tiba-tiba, baja
itu meleleh. Sang pelatih tidak mampu menahan
perasaannya sendiri, air mata mengalir dari kedua
matanya, bukan sebagai seorang pelatih, tetapi sebagai
seorang anak.....

Sang pelatih sangat tergugah dengan cerita Luke, ia
sadar bahwa dalam hal ini, ia belajar banyak dari
Luke. Bahkan seorang anak berusia 7 tahun berusaha
melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan orang tuanya,
walaupun ayah dan ibunya sudah pergi selamanya............Luke
baru saja kehilangan seorang Ibu yang begitu
mencintainya........

Sang pelatih sadar, bahwa ia beruntung ayah dan ibunya
masih ada. Mulai saat itu, ia berusaha melakukan yang
terbaik untuk kedua orangtuanya, membahagiakan mereka,
membagikan lebih banyak cinta dan kasih untuk mereka.
Dia menyadari bahwa waktu sangat berharga, atau ia
akan menyesal seumur hidupnya...............

Hikmah yang dapat kita renungkan dari kisah Luke yang

HANYA berusia 7 TAHUN :

Mulai detik ini, lakukanlah yang terbaik utk
membahagiakan ayah & ibu kita. Banyak cara yg bisa
kita lakukan utk ayah & ibu, dgn mengisi hari-hari
mereka dgn kebahagiaan. Sisihkan lebih banyak waktu
untuk mereka. Raihlah prestasi & hadapi tantangan
seberat apapun, melalui cara-cara yang jujur utk
membuat mereka bangga dgn kita. Bukannya melakukan
perbuatan2 tak terpuji, yang membuat mereka malu.

Kepedulian kita pada mereka adalah salah satu
kebahagiaan mereka yang terbesar. Bahkan seorang anak
berusia 7 tahun berusaha melakukan yang terbaik untuk
membahagiakan ayah dan ibunya. Bagaimana dengan Anda ?

Berapakah usia Anda saat ini ?

Apakah Anda masih memiliki kesempatan tersebut ? Atau
kesempatan itu sudah hilang untuk selamanya.........?
Mohon KEMURAHAN HATI Anda untuk menyebarkan kisah
ini kepada sanak keluarga Anda, famili, teman2, rekan2
kerja, rekan2 bisnis, atasan, bawahan, sebuah kelompok
organisasi ataupun perusahaan, PELANGGAN, serta siapa
saja yang Anda temui. Kisah ini dapat disebarkan
melalui internet kepada orang banyak.

AYAH, IBU kalian tahu bahwa aku juga mencintaimu segenap hatiku 


SEBUAH CIUMAN SELAMAT TINGGAL

Rapat Direksi baru saja berakhir. Bob mulai bangkit berdiri dan menyenggol 
meja sehingga kopi tertumpah ke atas catatan-catatannya. "Waduh, memalukan 
sekali aku ini, di usia tua kok tambah ngaco". Semua orang ramai tergelak 
tertawa, lalu sebentar kemudian, kami semua mulai menceritakan saat-saat 
yang paling menyakitkan di masa lalu dulu.

Gilirannya kini sampai pada Frank yang duduk terdiam mendengarkan kisah
lain-lainnya.

"Ayolah Frank, sekarang giliranmu. Cerita dong, apa saat yang paling tak
enak bagimu dulu."

Frank tertawa, mulailah ia berkisah masa kecilnya.

"Aku besar di San Pedro. Ayahku seorang nelayan, dan ia cinta amat pada 
lautan. Ia punya kapalnya sendiri, meski berat sekali mencari mata 
pencaharian di laut. Ia kerja keras sekali dan akan tetap tinggal di laut 
sampai ia menangkap cukup ikan untuk memberi makan keluarga. Bukan cuma 
cukup buat keluarga kami sendiri, tapi juga untuk ayah dan ibunya dan 
saudara2 lainnya yang masih di rumah."

Ia menatap kami dan berkata, "Ahhh, seandainya kalian sempat bertemu
ayahku. Ia sosoknya besar, orangnya kuat dari menarik jala dan memerangi
lautan demi mencari ikan. Asal kau dekat saja padanya, wuih, bau dia
sudah mirip kayak lautan. Ia gemar memakai mantel cuaca-buruk tuanya
yang terbuat dari kanvas dan pakaian kerja dengan kain penutup dadanya.
Topi penahan hujannya sering ia tarik turun menutupi alisnya.
Tak perduli berapapun ibuku mencucinya, tetap akan tercium bau lautan
dan amisnya ikan."

Suara Frank mulai merendah sedikit.

"Kalau cuaca buruk, ia akan antar aku ke sekolah. Ia punya mobil truk 
tua yang dipakainya dalam usaha perikanan ini. Truk itu bahkan lebih tua 
umurnya daripada ayahku. Bunyinya meraung dan berdentangan sepanjang 
perjalanan. Sejak beberapa blok jauhnya kau sudah bisa mendengarnya.
Saat ayah bawa truk menuju sekolah, aku merasa menciut ke dalam tempat
duduk, berharap semoga bisa menghilang. Hampir separuh perjalanan, 
ayah sering mengerem mendadak dan lalu truk tua ini akan menyemburkan 
suatu kepulan awan asap. Ia akan selalu berhenti di depan sekali, 
dan kelihatannya setiap orang akan berdiri mengelilingi dan menonton. 
Lalu ayah akan menyandarkan diri ke depan, dan memberiku sebuah ciuman 
besar pada pipiku dan memujiku sebagai anak yang baik. Aku merasa agak 
malu, begitu risih. Maklumlah, aku sebagai anak umur dua-belas, dan 
ayahku menyandarkan diri ke depan dan menciumi aku selamat tinggal!"

Ia berhenti sejenak lalu meneruskan, "Aku ingat hari ketika kuputuskan
aku sebenarnya terlalu tua untuk suatu kecupan selamat tinggal.
Waktu kami sampai ke sekolah dan berhenti, seperti biasanya ayah sudah
tersenyum lebar. Ia mulai memiringkan badannya ke arahku, tetapi aku
mengangkat tangan dan berkata, "Jangan, ayah".

Itu pertama kali aku berkata begitu padanya, dan wajah ayah tampaknya
begitu terheran.

Aku bilang, "Ayah, aku sudah terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal.
Sebetulnya sudah terlalu tua bagi segala macam kecupan".

Ayahku memandangiku untuk saat yang lama sekali, dan matanya mulai
basah. Belum pernah kulihat dia menangis sebelumnya. Ia memutar kepalanya,
pandangannya menerawang menembus kaca depan.

"Kau benar", katanya.
"Kau sudah jadi pemuda besar......seorang pria. Aku tak akan menciumimu
lagi".

Wajah Frank berubah jadi aneh, dan air mata mulai memenuhi kedua matanya,
ketika ia melanjutkan kisahnya.

"Tidak lama setelah itu, ayah pergi melaut dan tidak pernah kembali
lagi.

Itu terjadi pada suatu hari, ketika sebagian besar armada kapal nelayan
merapat di pelabuhan, tapi kapal ayah tidak.
Ia punya keluarga besar yang harus diberi makan.
Kapalnya ditemukan terapung dengan jala yang separuh terangkat dan
separuhnya lagi masih ada di laut. Pastilah ayah tertimpa badai dan ia
mencoba menyelamatkan jala dan semua pengapung-pengapungnya."

Aku mengawasi Frank dan melihat air mata mengalir menuruni pipinya.
Frank menyambung lagi, "Kawan-kawan, kalian tak bisa bayangkan apa yang
akan kukorbankan sekedar untuk mendapatkan lagi sebuah ciuman pada
pipiku....
untuk merasakan wajah tuanya yang kasar......
untuk mencium bau air laut dan samudra padanya.....
untuk merasakan tangan dan lengannya merangkul leherku.
Ahh, sekiranya saja aku jadi pria dewasa saat itu.
Kalau aku seorang pria dewasa, aku pastilah tidak akan pernah memberi
tahu ayahku bahwa aku terlalu tua "untuk sebuah ciuman selamat tinggal."


By: Thomas Charles Clary

Semoga kita tidak menjadi terlalu tua untuk menunjukkan cinta kasih kita.
Semoga kita tidak pernah malu untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh orang yang kita cintai.
Jangan pernah menghina orang yang kita cintai terlebih untuk orangtua kita.
Jangan mengecewakan orang yang kita cintai sebelum kita menyesal apa yang telah kita perbuat.


AKU TAK SELALU MENDAPATKAN APA YANG KUSUKAI, OLEH KARENA ITU AKU SELALU MENYUKAI APAPUN YANG AKU DAPATKAN.